Minggu, 26 September 2010

Kekuatan Politik Leihitu di Zaman Dulu

..partai menyesuaikan diri dengan
lingkungan setempat dimana kesetiaan
kesukuan dan keagamaan sangat kuat -R.William Liddle

Jika kita merunut ke belakang di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia sekitar periode tahun 1945-1960-an, Daerah Pemilihan (Dapil) tiga di Kabupaten Maluku Tengah, yang mencakup Kecamatan Salahutu, Kecamatan Leihitu, dan Kecamatan Leihitu Barat yang terdiri dari 23 negeri adat tersebut, merupakan konfigurasi politik dari kekuatan politik nasional, yang ada di Indonesia kala itu. Pasalnya hampir semua kekuatan politik nasional, yang saat itu meramaikan pentas politik nasional pernah ada di kawasan Jasirah Leihitu.
Hal ini dapat dilihat dari hadirnya beragam kekuatan politik kala itu, seperti Kelompok Nasionalis : Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Kelompok Sosialis : Partai Musyawara Rakyat Banyak (Murba), Kelompok Komunisme : Partai Komunis Indonesia (PKI), Kelompok Islam Modernis : Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI),  Kelompok Islam Tradisional : Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Kelompok Protestan : Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Bahkan dikawasan ini-pun melahirkan tokoh-tokoh populis yang berasal dari partai-partai politik ini, antara lain ; Abdullah Soulisa, M. Amin Elly (Masyumi), Umar Lestaluhu, Saleh Olong, Abubakar Kalau (PKI), Kasim Soulisa (PNI), Hamin Tuarita (Murba), dan Ismail Umarella (NU).  Meski-pun  kawasan Jasirah Leihitu merupakan potret yang plural dari kekuatan politik partai politik saat itu, tapi dalam afiliasi politik para pemilih dikawasan ini masih diwarnai oleh dominannya kekuatan politik Masyumi beserta partai seideologi seperti PSII, NU, PERTI dan Parkindo, yang merupakan kekuatan politik yang esklusif kala itu.
Dimana untuk negeri-negeri Islam afiliasi politiknya kepada Partai Masyumi disusul partai seideologi seperti PSII, NU dan PERTI,  sedangkan untuk negeri-negeri Kristen afiliasi politiknya kepada Parkindo. Secara rill kekuatan politik sektarian itu pada Pemilu 1955 di kawasan Pulau Ambon bagian barat bertarung secara ketat. Hal ini dilihat dari para pemilih di negeri-negeri Islam lebih banyak mencoblos Masyumi disusul partai-partai seideologi seperti ; PSII, NU serta PERTI, dan para pemilih di negeri-negeri Kristen lebih banyak mencoblos Parkindo pada Pemilu pertama yang digelar di era rezim Seokarno tersebut.
Fenomena ini sebagai konsekuensi dari masih menguatnya politik aliran dalam sistem kepartaian nasional kala itu, yang turut memiliki pengaruh signifikan hingga ke level daerah. Sehingga para pemilih di kawasan Jasirah Leihitu ketika itu, tersegregasi preferensi politiknya berdasarkan partai politik yang mengusung ideologi Islam, dan partai politik yang mengusung ideologi Kristen. Sementara hanya sebagian kecil pemilih dikawasan ini, yang memiliki preferensi politik untuk memilih partai-partai politik yang mengusung ideologi nasionalis, sosialis, dan kumunis, seperti : PNI, PSI, PKI, dan Murba pada Pemilu pertama di era rezim Orde Lama tersebut.
Berkaitan dengan itu, jika merujuk pada pemikiran Nasikun (2007) dalam bukunya yang berjudul ; ”Sistem Sosial Budaya Indonesia,” dia mengkategorikan Parkindo, sebagai salah satu partai politik yang memiliki sifat khusus, dilihat dari faktor sosial kultur yang mendasarinya. Dimana daerah-daerah, yang didiami oleh pemilih Kristen di Maluku menjadi basis pendukungnya. Sehingga partai politik ini menjadi partai sektarian. Begitu pula Masyumi beserta partai politik seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI memiliki sifat khusus dilihat dari faktor sosial kultur yang mendasarinya. Pasalnya daerah-daerah, yang didiami oleh pemilih Islam di Maluku menjadi basis pendukungnya. Sehingga keempat partai politik ini menjadi partai sektarian pula.
Seiring peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 dan mulai meredupnya kekuasaan rezim Soekarno, yang ditandai dengan konsolidasi rezim Soeharto menuju kekuasaan sejak 3 Oktober 1965, kawasan Pulau Ambon bagian barat, yang menjadi basis kekuatan Masyumi, beserta partai politik seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI, dan Parkindo pun semakin susut. Hal ini sejalan dengan dilaksanakannya Pemilu-Pemilu di era Orde Baru 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Menjelang Pemilu kedua di era rezim Soeharto, Masyumi yang sudah bertransformasi menjadi Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) beserta partai-partai seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI difusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan Pembangunan (PPP), dan Parkindo beserta PNI, Partai Katolik, Murba, serta IPKI difusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Konsekuensi dari penyederhaan sistem kepartaian nasional pasca dihelatnya Pemilu 1971 di era pemerintahan Orde Baru tersebut, pada akhirnya menyisahkan dua partai politik, dan satu golongan. Dua partai politik itu adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan satu golongan itu adalah Golongan Karya (Golkar), yang ketika itu enggan disebut partai politik. Sayangnya fusi partai itu, tidak ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Pemilu yang fair play. Pasalnya sejak dihelatnya Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 di era rezim Orde Baru, kedua partai politik ini mesti puas duduk pada posisi kedua, dan ketiga perolehan suara secara nasional.
Hal ini, tidak terlepas dari ulah Golkar yang menggunakan kekuatan negara untuk membantu memenangkan pemilu, serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi maupun keterlibatan PPP dan PDI. Tidak berbeda jauh dengan realitas pentas politik nasonal kala itu, di kawasan Jasirah Leihitu, yang saat ini telah menjadi Dapil Tiga Kabupaten Maluku Tengah, juga menerima sistem kepartaian nasional yang hanya mengenal dua partai politik, dan satu golongan. Dimana penyederhaan sistem kepartaian tersebut, tidak dibarengi dengan pelaksanaan Pemilu yang fair play di kawasan Pulau Ambon bagian barat. Pasalnya sejak dihelatnya Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 di era rezim Orde Baru  baik PPP, dan PDI mesti puas bertengger pada posisi kedua, dan ketiga perolehan suara di kawasan ini.
Melorontya posisi PPP dan PDI pada posisi kedua dan ketiga perolehan suara kedua partai politik ini di kawasan Pulau Ambon bagian barat, sebenarnya tidak terlepas dari cara Golkar yang menggunakan kekuatan negara dilevel lokal, untuk membantu memenangkan pemilu. Serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi serta keterlibatan PPP dan PDI. Tak pelak, basis-basis tradisional PPP dan PDI dikawasan ini digembosi. Sehingga terjadi perubahan konstalasi politik dikawasan ini. Dimana negeri-negeri Islam maupun negeri-negeri Kristen, yang pada awalnya berafiliasi memilih PPP, dan PDI pasca dilakukannya penyederhanaan partai tersebut, lambat laun berubah menjadi basis pemilih dari Golkar.
Kendati demikian, masih terdapat sedikit dari para pemilih di negeri-negeri Islam, dan negeri-negeri Kristen di kawasan Pulau Ambon bagian barat, tetap mencoblos PPP dan PDI. Dimana rata-rata dari mereka merupakan para pemilih ideologis dari partai Masyumi, PSII, NU dan PERTI serta Parkindo yang telah bertransformasi menjadi PPP dan PDI. Kondisi politik ini berlangsung sampai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Di tengah perubahan politik tersebut, Jasirah Leihitu tidak lagi menjadi kekuatan politik dominan dari Partai Golkar.
Namun sudah berubah menjadi basis dari kekuatan politik PDIP, dan Partai Golkar. Sehingga sejak Pemilu 1999, 2004, dan 2009 kedua partai politik ini yang senantiasa mendominasi perolehan suara di kawasan Jasirah Leihitu. Diikuti oleh partai berideologi nasionalis dan Islam  seperti ; Demokrat, Hanura, Gerindra, PKPI, PAN, PKB, PPP, PKS, dan PBB. Tentu perubahan ini, tidak terlepas dari fusi partai yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Dimana turut juga memiliki pengaruh  yang signifikan terhadap perubahan basis pemilih dari partai  berideologi Islam, dan partai berideologi Kristen ke partai berideologi developmentalis-nasionalis di kawasan Jasirah Leihitu.[Rizal Syahdy Latukau]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar