Minggu, 26 September 2010

Politik

Oleh : M.J Latuconsina

Politik tidak pernah akan lekang oleh perkembangan zaman, dimana akan senantiasa hadir mengisi ruang interaksi sosial kita selaku masyarakat. Eksistensi politik hadir seiring-sejalan dengan upaya masyarakat, untuk melakukan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, yang berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Semua cara yang dilakukan tersebut, akan bermuara pada upaya mencapai masyarakat politik (polity), yang terbaik.
Upaya tersebut, merupakan fungsi ideal dari politik, sebagaimana istilah politik, yang lahir dari para filsuf Yunani Kuno pada abad ke-5 S.M. Para filsuf itu antara lain; Aristoteles dan Plato. Kedua filsuf tersebut, menganggap politik merupakan suatu usaha, untuk mencapai suatu masyarakat politik yang terbaik. Di dalam politik semacam itu manusia akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.
Fungsi ideal politik tersebut, tentu anomali dengan konteks kekinian. Tatkala, praktik politik yang dilakukan oleh para elite kita, dalam melakukan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, yang berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara, tidak lagi dilakukan dengan mengedepankan perilaku politik yang santun dan elegan. Tapi sebaliknya dilakukan dengan lebih mengedepankan perilaku politik pragmatis dan oportunistik, demi menggapai kekuasaan.  
Bagi mereka yang awam dengan politik, akan menistakannya dengan memberikan label “kotor”, sebab dengan politik membuat orang bersaing saling sikut-menyikut, dipenuhi intrik-intrik, yang tidak memandang entah itu kawan, kerabat dan kedekatan emosional lainnya, untuk menggapai tujuan guna memperoleh kekuasaan. Bukan suatu sinisme terhadap politik, tapi kerap merupakan sesuatu yang rill, dapat kita temui ditengah-tengah kehidupan kita. Ketika politik hanya melahirkan perilaku-perilaku demikian, sehingga politik kerap dikatakan “kotor”.
Nista orang awam akan politik itu “kotor”, seakan-akan mendapat pembenarannya tatkala Niccolo Bernardo Machiavelli (1559), yang termasyur melalui karya monumentalnya  “II Principe”, mengatakan dengan lantangnya bahwa, “tidak ada kawan yang abadi, dan tidak ada lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Tentu politik yang sudah terlanjur digeneralisir itu “kotor”, seakan membuat kepentingan sesaat, dapat meluluhlantakan pertemanan menjadi permusuhan, sekaligus dapat menjadikan permusuhan menjadi perkawanan kembali demi menggapai kekuasaan.
Jika demikian, yang terjadi adalah pragmatisme dalam bertindak guna menggapai kekuasaan, sehingga dalam politik kita tidak butuh yang namanya idealisme, yang dijalankan dalam frame normatif. Kalau kemudian, pragmatisme yang diusung dalam politik, maka berbagai cara akan dilakukan melewati norma-norma sosial, yang tidak lain dan tidak bukan, untuk menggapai kekuasaan. Memang naif, tapi itu merupakan kenyataan rill, tatkala para elite kita dalam menggapai kekuasaan, justru menempuh cara-cara prgamatisme, yang oportunistik.
Suatu analogi polos tapi rill dengan anggapan politik itu “kotor”, yang dipraktikkan para elite kita untuk meraih kekuasaan. Hal ini terjadi, tatkala seorang wakil rakyat terpilih mengatakan bahwa, ia kembali sukses menempati kursi wakil rakyat, dimana meraih suara terbanyak untuk menduduki kursi wakil rakyat, pada pemilu 2009 di daerah pemilihannya. Ia lantas mengatakan dengan lantangnya, bahwa politik itu beda dengan ilmu politik yang kita pelajari. Dimana mempelajari ilmu politik itu sesuatu yang normatif.
Pasalnya, pada desa-desa yang diberikan bantuan oleh wakil rakyat terpilih tersebut, para pemilih justru tidak mencontrengnya. Sebaliknya pada desa-desa, yang  tidak diberikan bantuan justru para pemilih mencontrengnya. Dengan pernyataan-pernyataan dari wakil rakyat terpilih tersebut, tentu ia telah memandang politik adalah sesuatu yang anormatif, yang dipraktekan dengan cara-cara “kotor”. Sebab, ia dengan sengaja telah “merendahkan” kualitas demokrasi. Dimana untuk meraih suara terbanyak dalam Pemilu,  menggunakan cara-cara yang anormatif.
Salah satunya memberikan bantuan kepada desa-desa, dengan pamrih bisa dicontreng dalam Pemilu. Bahwa kemudian, pada desa-desa yang tidak diberikan bantuan, justru mereka bisa mencontrengnya dalam Pemilu. Tentu tidak bisa secara dini dikatakan demikian. Wakil rakyat terpilih tersebut sebenarnya lupa bahwa, terdapat indikator-indikator sosiologis, psikologis, dan rational choice, yang lantas menjadi pijakan bagi para pemilih, pada desa-desa tersebut mendasarkan preferensi politik mereka, pada Pemilu 2009 lalu.
Misalnya terdapat kedekatan etnis, ikatan darah, dan agama  yang sama antara para pemilih di desa dengannya. Hal ini dipastikan, menjadi faktor sosiologis yang berpengaruh bagi para pemilih untuk mencontrengnya dalam Pemilu 2009 lalu. Begitu-pun, terdapat orientasi pilihan pemilih terhadap partai, caleg dan orientasi pilihan pemilih terhadap program, menjadi faktor-faktor psikologis, yang sangat berpengaruh terhadap preferensi pemilih di desa untuk mencontrengnya dalam Pemilu 2009 lalu.  
Karena itu, pada desa-desa yang tidak mencontreng wakil rakyat tersebut, bukanlah dikategorikan sebagai pemilih pragmatis. Pasalnya bantuan yang diberikan wakil rakyat tersebut, bukan menjadi ukuran bagi mereka untuk mencontrengnya. Bisa saja, pada desa-desa yang tidak diberikan bantuan tersebut, jauh-jauh hari telah memiliki identifikasi pilihan politik, terhadap caleg yang diusung oleh partai politik lain. Sehingga sulit, untuk mencontreng caleg dari partai lain, sekalipun ”diiming-imingi” dengan bantuan.
Jika mereka kategorikan sebagai pemilih pragmatis, tentu bantuan yang diberikan wakil rakyat terpilih tersebut, akan menjadi pijakan bagi para pemilih pada desa-desa tersebut, untuk mencontrengnya. Bukankah Anthony Downs (1957) dalam bukunya ”An Economic Theory of Democracy” telah jauh-jauh hari mengingatkan kita akan perilaku pemilih pragmatis, bahwa warga masyarakat akan selalu berpikir memberikan dukungan terhadap suatu partai, dalam kerangka constantbenefit. Keuntungan yang akan diperolehnya, dengan mendukung suatu partai dijadikan pertimbangan utama untuk menentukan sikap.
Fenomena ini, menandakan ketidak-akuratan wakil rakyat terpilih tersebut, dalam melakukan mapping politik, terhadap desa-desa yang akan dijadikan tempat untuk mendulang suara pada Pemilu 2009 lalu. Sehingga berdampak pula terhadap kegagalan penerapan strategi pemenangan Pemilu. Padahal jika, wakil rakyat terpilih tersebut sejak awal melakukan mapping politik secara baik, tentu ia tidak perlu merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah, guna memberikan bantuan kepada para pemilih, jika telah mengetahui pada desa-desa yang tidak memilihnya, sulit diiming-imingi dengan bantuan.
Karena itu, politik perlu dipandang sebagai sesuatu yang normatif, dan bukan sesuatu yang anormatif dimana perlu dijauhkan dari praktik yang hanya ”merendahkan” kualitas demokrasi. Sehingga, tatkala digunakan untuk mengapai jabatan wakil rakyat, bisa memakai indikator sosiologis, psikologis dan rational choice, untuk mengetahui sejauh mana kehendak preferensi politik pemilih. Melalui upaya ini, tentu seorang calon wakil rakyat, akan dengan mudah mengetahui kehendak preferensi politik pemilih dalam memilih calon wakil rakyat. Sehingga bisa dengan gampang, melakukan mapping politik, guna diterapkan dalam strategi pemenangan, sehingga bisa sukses meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu.[M.J.Latuconsina]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar