Jumat, 01 Oktober 2010

Civil Society di Aras Lokal dari Peran KNPI untuk Mewujudan Good Governance

“Pentingnya pergerakan sosial masyarakat,
yang mampu dilakukan oleh kelompok sipil
untuk melindungi publik dari kepentingan
komersial dan pemerintah.” -John Locke-

Peran aktif civil society institution di aras local dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, merupakan ekses dari semakin monopolinya state terhadap pemenuhan kepentingannya sendiri, melalui pembuatan kebijakan state yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Titik tolak positif kehadiran civil society institution, guna membendung hegemoni state dalam pengambilan keputusan, yang sering merugikan kepentingan rakyat. Karena itu, esensi penting dari kehadiran civil society institution, untuk mengontrol kinerja state di ranah lokal.
Potret dinamika state yang monopolistic, hegemonic dan oligarkis, lebih banyak ditemui pada lokal rezim di daerah. Tiga elemen negativ, yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi tersebut, dapat tumbuh subur jika dibiarkan tanpa adanya kontrol yang maksimal. Tumbuh suburnya ketiga aspek negativ ini di daerah, karena mekanisme fungsi kontrol dan hukum, yang dilakukan oleh institusi-institusi penopang demokrasi seperti; DPRD, Kejaksaan, Pengadilan, Kepolisian dan Pers tidak berjalan maksimal.
Ironisnya lagi institusi-institusi tersebut, sebagian besar sudah terkooptasi demi membela kepentingan local rezim yang monopolistic, hegemonic dan oligarkis tersebut. Kooptasi itu biasanya, dilakukan dalam bentuk penciptaan “silent culture” (budaya bisu), agar institusi-institusi itu tidak melawan local rezim guna menuntaskan tiga elemen, yang bertetangan dengan nilai-nilai demokrasi tersebut. Hadirnya tiga aspek, yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sejalan dengan penerapan otonomi daerah di tahun 2000 lalu. Sehingga banyak local rezim, yang kemudian tampil bak “raja-raja kecil.”
Dimana mereka tidak menghiraukan lagi nilai-nilai demokrasi, yang perlu dipraktekan dalam menjalankan roda pemerintahan state. Tak pelak local rezim di daerah kebanyakan memerintah “semau kehendak mereka”. Dalam anggapan mereka jabatan state, yang diemban tersebut adalah milik mereka dan bukan milik rakyat. Sehingga tidak perlu dikontrol oleh lembaga-lembaga penopang demokrasi itu. Tapi, tatkala state melalui local rezim tidak dapat menjalankan fungsinya secara baik demi mensejahterakan rakyat, maka civil society institution perlu tampil di garda terdepan guna melibas praktik monopolistic, hegemonic dan oligarkis yang dilakukan state.
Karena itu, keterlibatan civil society institution dalam mempengaruhi pengambilan keputusan di aras lokal merupakan sesuatu yang urgen sekaligus strategis, guna menghilangkan praktik monopolistic, hegemonic dan oligarkis yang sering dilakukan state terhadap rakyat. Sehingga KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), sebagai salah satu elemen vital dari civil society institution, tentu memiliki peran yang strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan, yang dilakukan oleh local rezim di daerah. Pasalnya, bias dari pengambilan keputusan yang dilakukan oleh state tersebut akan dirasakan juga oleh para pemuda, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat.
Jika pengambilan keputusan, yang dilakukan local rezim di daerah, lebih banyak merugikan kepentingan rakyat dan sebaliknya lebih banyak menguntungkan kepentingan state, tentu pengambilan keputusan itu perlu dipengaruhi oleh KNPI. Mekanisme KNPI untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh state, dilakukan melalui jalur parlemen yang “moderat.” Namun kalau sebaliknya mekanisme parlemen tidak bisa diakomodasi secara baik oleh state, maka jalur ekstra parlemen yang “radikal” adalah jalan yang perlu ditempuh.
Hal ini perlu dilakukan KNPI, karena dalam suatu sistem politik, terdapat inputs politik berupa demands dimana jika dilakukan dengan cara moderat tidak terlaksana, maka input politik perlu dilakukan dengan cara radikal. Dengan mekanisme ini, tentu outputs politik berupa rewards bisa diakomodasi oleh state melalui pengambilan keputusan yang lebih menguntungkan kepentingan rakyat. Mekanisme yang dipaparkan tersebut, adalah esensi penting dari partisipasi pemuda dalam wadah KNPI, sebagai bagian dari civil society institution, yang hadir untuk menata civil society yang lebih baik lagi.
Terkait dengan itu, menurut Mario Padron sebagaimana dikutip Andi Widjajanto, et.all (2007), dalam buku yang berjudul; “Transnasionalisasi Masyarakat Sipil”, menyebutkan bahwa, terdapat tiga organisasi non pemerintah yang berperan besar dalam proses pembangunan. Salah satunya adalah Organisasi Masyarakat Sipil Pembangunan, yang berasal dari dunia ketiga (Non Governmental Development Organization/NGDO). Tentu, KNPI sebagai bagian dari elemen NGDO, juga berperan besar dalam proses pembangunan di aras local. Peran besar KNPI dalam proses pembangunan di ranah local, bertujuan untuk mendorong  local rezim ke arah mewujudkan good governance.
Mewujudkan good governance merupakan upaya yang dilakukan oleh state dalam rangka mengelolah urusan-urusan public, meliputi pengelolaan sumber daya sosial dan pengelolaan sumber daya ekonomi, demi kepentingan pembangunan rakyat. Namun upaya mewujudkan good governance bisa tercapai dengan baik, jika semua elemen civil society institution dalam suatu state turut berpartisipasi aktif didalamnya. Melalui cara ini, akan terjadi kesinambungan antara keinginan dari state dan keinginan dari civil society institution itu sendiri.
Sehingga akan terjalin mitra strategis antara state dan civil society. Bukan sebaliknya state berhadap-hadapan dengan civil society dalam pembangunan. Jika hal ini yang terjadi, maka outputnya adalah konflik. Terlepas dari itu, civil society sebagai salah satu ranah dari good governance, akan menciptakan wilayah-wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian yang tinggi terhadap negara, dan keterikatan dengan norma-norma serta nilai-nilai yang diikuti oleh warganya. Tentu patut direalisasikan demi kepentingan rakyat.
Menyadari akan hal tersebut, maka rakyat sebagai bagian dari civil society tidak bisa membiarkan state untuk kemudian berjalan “semau kehedaknya”, dengan melakukan pembangunan yang lebih berpihak kepada kepentingan state semata. Tapi pembangunan tersebut, perlu dilakukan dengan lebih berpihak kepada kepentingan rakyat. Karena itu, hadirnya KNPI sebagai bagian dari civil society institution, akan membantu mengadvokasi kepentingan rakyat di ranah local. Sehingga upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan civil society yang ideal akan tercapai dengan baik.[Zahrudin Daud Latuconsina]

Minggu, 26 September 2010

Kekuatan Politik Leihitu di Zaman Dulu

..partai menyesuaikan diri dengan
lingkungan setempat dimana kesetiaan
kesukuan dan keagamaan sangat kuat -R.William Liddle

Jika kita merunut ke belakang di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia sekitar periode tahun 1945-1960-an, Daerah Pemilihan (Dapil) tiga di Kabupaten Maluku Tengah, yang mencakup Kecamatan Salahutu, Kecamatan Leihitu, dan Kecamatan Leihitu Barat yang terdiri dari 23 negeri adat tersebut, merupakan konfigurasi politik dari kekuatan politik nasional, yang ada di Indonesia kala itu. Pasalnya hampir semua kekuatan politik nasional, yang saat itu meramaikan pentas politik nasional pernah ada di kawasan Jasirah Leihitu.
Hal ini dapat dilihat dari hadirnya beragam kekuatan politik kala itu, seperti Kelompok Nasionalis : Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Kelompok Sosialis : Partai Musyawara Rakyat Banyak (Murba), Kelompok Komunisme : Partai Komunis Indonesia (PKI), Kelompok Islam Modernis : Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI),  Kelompok Islam Tradisional : Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Kelompok Protestan : Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Bahkan dikawasan ini-pun melahirkan tokoh-tokoh populis yang berasal dari partai-partai politik ini, antara lain ; Abdullah Soulisa, M. Amin Elly (Masyumi), Umar Lestaluhu, Saleh Olong, Abubakar Kalau (PKI), Kasim Soulisa (PNI), Hamin Tuarita (Murba), dan Ismail Umarella (NU).  Meski-pun  kawasan Jasirah Leihitu merupakan potret yang plural dari kekuatan politik partai politik saat itu, tapi dalam afiliasi politik para pemilih dikawasan ini masih diwarnai oleh dominannya kekuatan politik Masyumi beserta partai seideologi seperti PSII, NU, PERTI dan Parkindo, yang merupakan kekuatan politik yang esklusif kala itu.
Dimana untuk negeri-negeri Islam afiliasi politiknya kepada Partai Masyumi disusul partai seideologi seperti PSII, NU dan PERTI,  sedangkan untuk negeri-negeri Kristen afiliasi politiknya kepada Parkindo. Secara rill kekuatan politik sektarian itu pada Pemilu 1955 di kawasan Pulau Ambon bagian barat bertarung secara ketat. Hal ini dilihat dari para pemilih di negeri-negeri Islam lebih banyak mencoblos Masyumi disusul partai-partai seideologi seperti ; PSII, NU serta PERTI, dan para pemilih di negeri-negeri Kristen lebih banyak mencoblos Parkindo pada Pemilu pertama yang digelar di era rezim Seokarno tersebut.
Fenomena ini sebagai konsekuensi dari masih menguatnya politik aliran dalam sistem kepartaian nasional kala itu, yang turut memiliki pengaruh signifikan hingga ke level daerah. Sehingga para pemilih di kawasan Jasirah Leihitu ketika itu, tersegregasi preferensi politiknya berdasarkan partai politik yang mengusung ideologi Islam, dan partai politik yang mengusung ideologi Kristen. Sementara hanya sebagian kecil pemilih dikawasan ini, yang memiliki preferensi politik untuk memilih partai-partai politik yang mengusung ideologi nasionalis, sosialis, dan kumunis, seperti : PNI, PSI, PKI, dan Murba pada Pemilu pertama di era rezim Orde Lama tersebut.
Berkaitan dengan itu, jika merujuk pada pemikiran Nasikun (2007) dalam bukunya yang berjudul ; ”Sistem Sosial Budaya Indonesia,” dia mengkategorikan Parkindo, sebagai salah satu partai politik yang memiliki sifat khusus, dilihat dari faktor sosial kultur yang mendasarinya. Dimana daerah-daerah, yang didiami oleh pemilih Kristen di Maluku menjadi basis pendukungnya. Sehingga partai politik ini menjadi partai sektarian. Begitu pula Masyumi beserta partai politik seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI memiliki sifat khusus dilihat dari faktor sosial kultur yang mendasarinya. Pasalnya daerah-daerah, yang didiami oleh pemilih Islam di Maluku menjadi basis pendukungnya. Sehingga keempat partai politik ini menjadi partai sektarian pula.
Seiring peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 dan mulai meredupnya kekuasaan rezim Soekarno, yang ditandai dengan konsolidasi rezim Soeharto menuju kekuasaan sejak 3 Oktober 1965, kawasan Pulau Ambon bagian barat, yang menjadi basis kekuatan Masyumi, beserta partai politik seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI, dan Parkindo pun semakin susut. Hal ini sejalan dengan dilaksanakannya Pemilu-Pemilu di era Orde Baru 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Menjelang Pemilu kedua di era rezim Soeharto, Masyumi yang sudah bertransformasi menjadi Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) beserta partai-partai seideologi seperti ; PSII, NU dan PERTI difusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan Pembangunan (PPP), dan Parkindo beserta PNI, Partai Katolik, Murba, serta IPKI difusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Konsekuensi dari penyederhaan sistem kepartaian nasional pasca dihelatnya Pemilu 1971 di era pemerintahan Orde Baru tersebut, pada akhirnya menyisahkan dua partai politik, dan satu golongan. Dua partai politik itu adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan satu golongan itu adalah Golongan Karya (Golkar), yang ketika itu enggan disebut partai politik. Sayangnya fusi partai itu, tidak ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Pemilu yang fair play. Pasalnya sejak dihelatnya Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 di era rezim Orde Baru, kedua partai politik ini mesti puas duduk pada posisi kedua, dan ketiga perolehan suara secara nasional.
Hal ini, tidak terlepas dari ulah Golkar yang menggunakan kekuatan negara untuk membantu memenangkan pemilu, serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi maupun keterlibatan PPP dan PDI. Tidak berbeda jauh dengan realitas pentas politik nasonal kala itu, di kawasan Jasirah Leihitu, yang saat ini telah menjadi Dapil Tiga Kabupaten Maluku Tengah, juga menerima sistem kepartaian nasional yang hanya mengenal dua partai politik, dan satu golongan. Dimana penyederhaan sistem kepartaian tersebut, tidak dibarengi dengan pelaksanaan Pemilu yang fair play di kawasan Pulau Ambon bagian barat. Pasalnya sejak dihelatnya Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 di era rezim Orde Baru  baik PPP, dan PDI mesti puas bertengger pada posisi kedua, dan ketiga perolehan suara di kawasan ini.
Melorontya posisi PPP dan PDI pada posisi kedua dan ketiga perolehan suara kedua partai politik ini di kawasan Pulau Ambon bagian barat, sebenarnya tidak terlepas dari cara Golkar yang menggunakan kekuatan negara dilevel lokal, untuk membantu memenangkan pemilu. Serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi serta keterlibatan PPP dan PDI. Tak pelak, basis-basis tradisional PPP dan PDI dikawasan ini digembosi. Sehingga terjadi perubahan konstalasi politik dikawasan ini. Dimana negeri-negeri Islam maupun negeri-negeri Kristen, yang pada awalnya berafiliasi memilih PPP, dan PDI pasca dilakukannya penyederhanaan partai tersebut, lambat laun berubah menjadi basis pemilih dari Golkar.
Kendati demikian, masih terdapat sedikit dari para pemilih di negeri-negeri Islam, dan negeri-negeri Kristen di kawasan Pulau Ambon bagian barat, tetap mencoblos PPP dan PDI. Dimana rata-rata dari mereka merupakan para pemilih ideologis dari partai Masyumi, PSII, NU dan PERTI serta Parkindo yang telah bertransformasi menjadi PPP dan PDI. Kondisi politik ini berlangsung sampai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Di tengah perubahan politik tersebut, Jasirah Leihitu tidak lagi menjadi kekuatan politik dominan dari Partai Golkar.
Namun sudah berubah menjadi basis dari kekuatan politik PDIP, dan Partai Golkar. Sehingga sejak Pemilu 1999, 2004, dan 2009 kedua partai politik ini yang senantiasa mendominasi perolehan suara di kawasan Jasirah Leihitu. Diikuti oleh partai berideologi nasionalis dan Islam  seperti ; Demokrat, Hanura, Gerindra, PKPI, PAN, PKB, PPP, PKS, dan PBB. Tentu perubahan ini, tidak terlepas dari fusi partai yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Dimana turut juga memiliki pengaruh  yang signifikan terhadap perubahan basis pemilih dari partai  berideologi Islam, dan partai berideologi Kristen ke partai berideologi developmentalis-nasionalis di kawasan Jasirah Leihitu.[Rizal Syahdy Latukau]

Politik

Oleh : M.J Latuconsina

Politik tidak pernah akan lekang oleh perkembangan zaman, dimana akan senantiasa hadir mengisi ruang interaksi sosial kita selaku masyarakat. Eksistensi politik hadir seiring-sejalan dengan upaya masyarakat, untuk melakukan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, yang berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Semua cara yang dilakukan tersebut, akan bermuara pada upaya mencapai masyarakat politik (polity), yang terbaik.
Upaya tersebut, merupakan fungsi ideal dari politik, sebagaimana istilah politik, yang lahir dari para filsuf Yunani Kuno pada abad ke-5 S.M. Para filsuf itu antara lain; Aristoteles dan Plato. Kedua filsuf tersebut, menganggap politik merupakan suatu usaha, untuk mencapai suatu masyarakat politik yang terbaik. Di dalam politik semacam itu manusia akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.
Fungsi ideal politik tersebut, tentu anomali dengan konteks kekinian. Tatkala, praktik politik yang dilakukan oleh para elite kita, dalam melakukan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, yang berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara, tidak lagi dilakukan dengan mengedepankan perilaku politik yang santun dan elegan. Tapi sebaliknya dilakukan dengan lebih mengedepankan perilaku politik pragmatis dan oportunistik, demi menggapai kekuasaan.  
Bagi mereka yang awam dengan politik, akan menistakannya dengan memberikan label “kotor”, sebab dengan politik membuat orang bersaing saling sikut-menyikut, dipenuhi intrik-intrik, yang tidak memandang entah itu kawan, kerabat dan kedekatan emosional lainnya, untuk menggapai tujuan guna memperoleh kekuasaan. Bukan suatu sinisme terhadap politik, tapi kerap merupakan sesuatu yang rill, dapat kita temui ditengah-tengah kehidupan kita. Ketika politik hanya melahirkan perilaku-perilaku demikian, sehingga politik kerap dikatakan “kotor”.
Nista orang awam akan politik itu “kotor”, seakan-akan mendapat pembenarannya tatkala Niccolo Bernardo Machiavelli (1559), yang termasyur melalui karya monumentalnya  “II Principe”, mengatakan dengan lantangnya bahwa, “tidak ada kawan yang abadi, dan tidak ada lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Tentu politik yang sudah terlanjur digeneralisir itu “kotor”, seakan membuat kepentingan sesaat, dapat meluluhlantakan pertemanan menjadi permusuhan, sekaligus dapat menjadikan permusuhan menjadi perkawanan kembali demi menggapai kekuasaan.
Jika demikian, yang terjadi adalah pragmatisme dalam bertindak guna menggapai kekuasaan, sehingga dalam politik kita tidak butuh yang namanya idealisme, yang dijalankan dalam frame normatif. Kalau kemudian, pragmatisme yang diusung dalam politik, maka berbagai cara akan dilakukan melewati norma-norma sosial, yang tidak lain dan tidak bukan, untuk menggapai kekuasaan. Memang naif, tapi itu merupakan kenyataan rill, tatkala para elite kita dalam menggapai kekuasaan, justru menempuh cara-cara prgamatisme, yang oportunistik.
Suatu analogi polos tapi rill dengan anggapan politik itu “kotor”, yang dipraktikkan para elite kita untuk meraih kekuasaan. Hal ini terjadi, tatkala seorang wakil rakyat terpilih mengatakan bahwa, ia kembali sukses menempati kursi wakil rakyat, dimana meraih suara terbanyak untuk menduduki kursi wakil rakyat, pada pemilu 2009 di daerah pemilihannya. Ia lantas mengatakan dengan lantangnya, bahwa politik itu beda dengan ilmu politik yang kita pelajari. Dimana mempelajari ilmu politik itu sesuatu yang normatif.
Pasalnya, pada desa-desa yang diberikan bantuan oleh wakil rakyat terpilih tersebut, para pemilih justru tidak mencontrengnya. Sebaliknya pada desa-desa, yang  tidak diberikan bantuan justru para pemilih mencontrengnya. Dengan pernyataan-pernyataan dari wakil rakyat terpilih tersebut, tentu ia telah memandang politik adalah sesuatu yang anormatif, yang dipraktekan dengan cara-cara “kotor”. Sebab, ia dengan sengaja telah “merendahkan” kualitas demokrasi. Dimana untuk meraih suara terbanyak dalam Pemilu,  menggunakan cara-cara yang anormatif.
Salah satunya memberikan bantuan kepada desa-desa, dengan pamrih bisa dicontreng dalam Pemilu. Bahwa kemudian, pada desa-desa yang tidak diberikan bantuan, justru mereka bisa mencontrengnya dalam Pemilu. Tentu tidak bisa secara dini dikatakan demikian. Wakil rakyat terpilih tersebut sebenarnya lupa bahwa, terdapat indikator-indikator sosiologis, psikologis, dan rational choice, yang lantas menjadi pijakan bagi para pemilih, pada desa-desa tersebut mendasarkan preferensi politik mereka, pada Pemilu 2009 lalu.
Misalnya terdapat kedekatan etnis, ikatan darah, dan agama  yang sama antara para pemilih di desa dengannya. Hal ini dipastikan, menjadi faktor sosiologis yang berpengaruh bagi para pemilih untuk mencontrengnya dalam Pemilu 2009 lalu. Begitu-pun, terdapat orientasi pilihan pemilih terhadap partai, caleg dan orientasi pilihan pemilih terhadap program, menjadi faktor-faktor psikologis, yang sangat berpengaruh terhadap preferensi pemilih di desa untuk mencontrengnya dalam Pemilu 2009 lalu.  
Karena itu, pada desa-desa yang tidak mencontreng wakil rakyat tersebut, bukanlah dikategorikan sebagai pemilih pragmatis. Pasalnya bantuan yang diberikan wakil rakyat tersebut, bukan menjadi ukuran bagi mereka untuk mencontrengnya. Bisa saja, pada desa-desa yang tidak diberikan bantuan tersebut, jauh-jauh hari telah memiliki identifikasi pilihan politik, terhadap caleg yang diusung oleh partai politik lain. Sehingga sulit, untuk mencontreng caleg dari partai lain, sekalipun ”diiming-imingi” dengan bantuan.
Jika mereka kategorikan sebagai pemilih pragmatis, tentu bantuan yang diberikan wakil rakyat terpilih tersebut, akan menjadi pijakan bagi para pemilih pada desa-desa tersebut, untuk mencontrengnya. Bukankah Anthony Downs (1957) dalam bukunya ”An Economic Theory of Democracy” telah jauh-jauh hari mengingatkan kita akan perilaku pemilih pragmatis, bahwa warga masyarakat akan selalu berpikir memberikan dukungan terhadap suatu partai, dalam kerangka constantbenefit. Keuntungan yang akan diperolehnya, dengan mendukung suatu partai dijadikan pertimbangan utama untuk menentukan sikap.
Fenomena ini, menandakan ketidak-akuratan wakil rakyat terpilih tersebut, dalam melakukan mapping politik, terhadap desa-desa yang akan dijadikan tempat untuk mendulang suara pada Pemilu 2009 lalu. Sehingga berdampak pula terhadap kegagalan penerapan strategi pemenangan Pemilu. Padahal jika, wakil rakyat terpilih tersebut sejak awal melakukan mapping politik secara baik, tentu ia tidak perlu merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah, guna memberikan bantuan kepada para pemilih, jika telah mengetahui pada desa-desa yang tidak memilihnya, sulit diiming-imingi dengan bantuan.
Karena itu, politik perlu dipandang sebagai sesuatu yang normatif, dan bukan sesuatu yang anormatif dimana perlu dijauhkan dari praktik yang hanya ”merendahkan” kualitas demokrasi. Sehingga, tatkala digunakan untuk mengapai jabatan wakil rakyat, bisa memakai indikator sosiologis, psikologis dan rational choice, untuk mengetahui sejauh mana kehendak preferensi politik pemilih. Melalui upaya ini, tentu seorang calon wakil rakyat, akan dengan mudah mengetahui kehendak preferensi politik pemilih dalam memilih calon wakil rakyat. Sehingga bisa dengan gampang, melakukan mapping politik, guna diterapkan dalam strategi pemenangan, sehingga bisa sukses meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu.[M.J.Latuconsina]